"Hidup Untuk Memberi Sebanyak-banyaknya"

Selasa, 23 November 2010

“UNTITLE”

“Kisah Aku dan huruf –R-“

Pernahkah anda merasa sendiri dalam keramaian?

Pernahkah anda merasa tidak di anggap oleh orang-orang dilingkungan sekitar anda?

Pernahkah anda dihina, dipandang sebelah mata karena kelemahan dan kekurangan yang anda miliki?

Pernahkah anda bisa melakukan sesuatu yang lebih baik dari orang lain bisa lakukan tetapi anda tidak punya keberanian untuk melakukannya?

Pernahkah anda kehilangan momentum emas hanya gara-gara rasa ketakutan anda akan pandangan orang-orang terhadap anda?

PERNAH dan sangat sering
Itu jawabanku, tapi itu DULU, itu doeloe dan tidak untuk sekarang tidak akan ada sakit hati lagi untuk mereka karena pandangan aneh dan senyuman sindiran dan tidak akan pernah ada lagi pengabaian momentum emas setelah aku membaca buku-buku dari Pro-U media. Bagaimana dengan anda???

Inilah kisahku kawaaand, kisah dimana aku bisa bangkit dari keterpurukanku, kisah dimana aku bisa mengubah hari gelapku menjadi lebih berwarna, kisah dimana air mata ku ubah menjadi senyuman, kisah dimana hinaan berbalik menjadi pujian, kisah yang ku harapkan juga mampu membangkitkan pembaca dari keterpurukan, mampu mengubah hari yang gelap menjadi lebih berwarna, mampu mengubah air mata menjadi senyuman dan mampu membalikkan hinaan menjadi pujian.

Tiga tahun yang lalu aku masih seorang siswi MAN (Madrasah Aliyah Negeri) 1 Bandar Lampung jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), pada dasarnya aku lebih menyukai ilmu-ilmu sosial dibandingkan ilmu-ilmu alam, karena menurutku ilmu-ilmu sosial akan lebih banyak bermanfaat ketika nanti aku terjun ke masyarakat, tetapi karena suatu kekurangku aku memutuskan untuk belajar giat agar aku masuk jurusan IPA dan terbukti akhirnya aku dimasukkan kedalam jurusan IPA karena menurut hasil pemilihan dari pihak sekolah nilai-nilaiku memang pantas masuk dalam kelas IPA, sebenarnya dibalik itu semua ada alasan tersendiri mengapa aku ingin masuk jurusan IPA, alasannya karena aku tidak dapat fasih menyebutkan salah satu huruf dari 26 huruf-huruf alfabet, yaitu huruf “R”, mungkin itu alasan yang terlalu dibuat-buat tapi benar adanya aku dulu sangat menghindari berbicara didepan umum, aku dulu sangat menghindari bertanya pada guru atau menjawab perntanyaan rebutan dari guru walaupun aku yakin aku sangat bisa untuk melakukan itu. Aku memilih IPA karena aku meyakini di jurusan IPA etensitas berbicara di depan kelas dan berdiskusi membahas topik-topik kemasyarkatan lebih sedikit karena IPA lebih banyak hitung-menghitung dan praktek-praktek, dan pilihanku untuk sementara sangat tepat dan aku aman. Aku memang juga menyukai pelajaran-pelajaran IPA dan aku menikmati sekolahku sebagai siswi jurusan IPA. Yeeessss!!! Aku aman karena aku bisa menghindari etensitas ku untuk berbicara di depan umum.
Pada semester akhir kelas tiga, aku dan teman-temanku dari berbagai jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), jurusan Bahasa dan ada juga jurusan PAI (Pengetahuan Agama Islam), kami sibuk membicarakan mau kemana setelah lulus sekolah, membicarakan mau kuliah ngambil jurusan apa dan mau di kampus apa dan dimana. 

Berbagai tawaran dari PTN (Perguruan Tinggi Negeri) mulai berdatangan di sekolah ku, mulai dari jalur prestasi tanpa tes atau melalui UM (Ujian Masuk), tawaran datang dari berbagai PTN termasuk UPI (Universitas Pendidikan Pendidikan) Bandung.

Dari sekian banyak PTN yang keren-keren seperti UNPAD, ITB, IPB, UGM, UI, UNY, UNJ, UIN Yogyakarta, UIN Jakarta dan banyak PTN lain-lainnya, tidak ada yang menarik bagiku. Aku masih membulatkan tekad akan masuk PTN melalui tes SNMPTN (Saringan Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan aku juga masih sangat bersemangat untuk mengikuti tes STAN (Sekolah Tinggi Akutansi Negeri), tetapi ada seorang guru yang menganjurkanku untuk mengikuti jalur masuk PTN melalui jalur prestasi tanpa tes di UPI Bandung, aku mulai berpikir untuk mengikutinya karena kata keluargaku besarku perempuan itu lebih baik jika menjadi pendidik dan UPI adalah Universitas Pendidikan satu-satunya di Indonesia. Menurut keluargaku pendidik seperti guru sangat bermanfaat untuk kehidupanku kelak ketika aku telah berumah tangga. Baiklah aku turuti saja karena aku tidak mau membantah mereka karena dengan jerih payah merekalah aku bisa bertahan mencari ilmu sampai detik ini. Aku memutuskan untuk ikut atau tidaknya dengan shalat istikharah dan Allah menggerakkan hatiku lalu kuputuskan untuk mengikutinya dan ternyata dari sekian banyak jurusan yang ditawarkan oleh UPI aku tertarik untuk memilih juruan Pendidikan Bahsa Inggris tetapi sudah ada teman sekelasku yang memilihnya jadi disarankan oleh guruku agar aku memilih jurusan lain. Huuuuffff bingung dan sudah ada keinginanku untuk batal mengikuti jalur ini, tetapi Allah berkehendak lain tidak tahu kenapa aku memilih jurusan IPAI (Ilmu Pendidikan Agama Islam) woooowww jurusan ini terlihat aneh bagiku, biasanya IPAI hanya ditemui di UIN (Universitas Islam Negeri) keanehan itulah yang membuat aku penasaran apa bedanya IPAI dikampus yang notebenenya umum dengan yang berlabel agama. Setelah selesai mengurusi tes tersebut aku seperti benar-benar lupa dan memfokuskan diri mengikuti TO (Try Out) tes STAN dan TO SNMPTN serta menyiapkan alat tempur untuk UN (Ujian Nasional). Aku benar-benar tidak pernah mengharapkan diterima karena aku memang sebenarnya tidak berminat menjadi seorang guru.

Beberapa minggu setelah Ujian Nasional pengumuman dari pihak UPI Bandung dipublikasikan melalui internet dan dengan segera teman-temanku yang juga ikut jalur masuk di UPI membuka situs itu dan ternyata menurut info yang kudengar hanya empat orang yang masuk UPI dari seluruh siswa-siswi di Lampung dan sekolah kami mendapatkan dua jatah siswa. Hmmmmm masih tak kuhiraukan informasi itu karena aku tidak pernah berharap masuk UPI. Dan ternyata aku mendapatkan kabar dari salah satu temanku yang lolos bahwa aku juga lolos dari saringan itu sama seperti dia. Taukah anda apa yang terjadi denganku? Bukan pujian yang aku dapatkan (walapun memang aku tak butuh itu karena saat itu tidak ada rasa bahagia ketika aku tahu kalau aku lolos), bukan juga ucapan selamat yang aku dapatkan, bahkan seorang guru yang sangat dekat dengan akupun merasa kecewa dengan keputusanku mengambil jurusan IPAI, teman-temanku kebanyakan mengucapkan selamat dengan nada-nada sindiran “pantas sajalah masuk, ngambil jurusan agama di PTN umum, lagian sekolah kita juga berlabel agama itu kan juga nilai plus selamat yaaa”, ada juga yang bilang “wahhh selamat yaaa calon uztadzah” dan ada yang lebih menyakitkan “wahh kamu sesat tuh jurusan IPA masuk IPAI seharusnya dari awal kamu masuk jurusan PAI kamu g mikir gituh??” (orang itu benar-benar tidak mikir atau dia lupa di sekolahku itu kan jurusan PAI hanya untuk siswa yang tinggal di asrama sekolah). Aku berpikir apa salahnya jurusan IPAI malah kereeen ilmu dunia akhirat heuheu, melalui IPAI akan banyak peluang untuk berdakwah... betul tidak?.

Setelah surat resmi dari pihak UPI sampai kerumahku, orang tuaku sangat senang dan mereka sangat mendukung aku untuk kuliah di Bandung, mereka percaya aku bisa menjaga diri dengan baik di Bandung dan Bapakku meyakini bahwa ini adalah jalan Tuhan untuk mendekatkan aku dengan keluarga besar Bapakku yang berasal dari Ciamis walapun masih jauh dari Bandung setidaknya bapakku mengatakan aku harus belajar dengan orang-orang sunda karena ada darah sunda mengalir dalam tubuhku.

Pikiranku semakin berkecamuk deadline keputusan dari UPI untuk melakukan registrasi kepastian semakin dekat dan Bismillah aku akhirnya memutuskan untuk mengambil kesempatan ini, mengorbankan mimpiku untuk ikut SNMPTN karena waktu tes SNMPTN bertabrakan dengan waktu registrasi, ini berarti aku mengorbankan kesempatan untuk bisa kuliah bareng dengan seseorang yang lima tahun lebih tua dariku, seorang yang sangat baik dan tidak pernah membantah ibunya, selama setahun lebih aku mengenalnya dia tidak pernah marah, ia seseorang yang sangat menghormati aku dengan menjaga prinsip-prinsipku dalam berhubungan. Dia termotivasi untuk kuliah lagi karena aku (heuheue... ada sedikit cerita percintaan disini), kawand itu artinya aku harus merelakan hubungan yang sudah terjalin selama setahun lebih. Berat memang karena aku terpaksa mengingkari janji untuk tidak akan kuliah jauh dari kampung halamanku. Tapi sekali lagi inilah pilihan hidup dan Bismillah ini yang terbaik karena belum tentu yang baik dalam pandanganku itu baik menurut Allah.

Wahh wahhh sepertinya kisah ini terlihat baik-baik saja bukan?, sangat biasa, tidak ada kisah inspiratifnya, hahaha jangan kecewa dulu penonton, apakah sekarang anda mulai bosan?, mungkin iya, tapi mohon bertahanlah untuk sejenak meluangkan waktu membaca kisah ini kawaand. Permasalahan kuliah jauh dari kampung halaman dan salah memilih jurusan mungkin itu hal yang lumrah tapii kawan permasalahannya bukan disana, masalah jurusan dan penghinaan dari teman-teman aku bisa menerima, karena setelah masuk di UPI ketua Prodi (Program Studi) IPAI menyatakan bahwa kami adalah mahasiwa yang terpilih dari > 600 mahasiswa yang memilih jurusan IPAI hanya 60 orang yang diterima. Kemudian masalah harus jauh dari kampung halamanpun aku bisa menerima karena orang-orang sumatera telah terbiasa menjadi perantau, dan hubungan aku pun masih terlihat baik-baik saja karena kecanggihan alat komukasi yang sangat membantu kami, tetapi masalah mulai muncul ketika awal-awal aku memasuki bangku perkuliahan dan menjadi seorang mahasiswi. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa seorang mahasiwa itu ternyata harus mampu berbicara di depan kelas, harus mempresentasikan makalah-makalah dan harus aktif berdiskusi dan jurusan pendidikan yang aku pilih IPAI mengharuskan kita untuk aktif berbicara di depan umum entah kelak sebagai guru atau apapun itu yang jelas mahasiswa itu harus bisa tampil berbicara di depan umum setidaknya untuk sekarang hanya di lingkup kelas... (huuffff ternyata pilihanku untuk kuliah seperti masuk ke lubang buaya www.lebay.com)

Awal-awal perkuliahan meskipun cukup sulit aku merasa semuanya masih bisa dikendalikan aku masih bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. Tiba saat akhir semester pertama berbagai masalah menerpa keluargaku dan juga ada masalah dengan hubunganku yang telah sedikit aku singgung sebelumnya, di tambah lagi puncaknya ada mata kuliah Basic Life Skill, aneh memang jurusan IPAI ada mata kuliah seperti itu, sekali lagi itulah uniknya IPAI di UPI yang ingin mencetak mahasiswa-mahasiwa yang tidak hanya memiliki pengetahuan agama tetapi juga mencetak mahasiswa yang agamis dengan mental yang kuat. Salah satu materi dari mata kuliah tersebut adalah communication Skill. waaaaaah bagai petir di siang bolong, ujiannya adalah membuat materi untuk pidato atau ceramah dan dipraktekan di depan kelas di depan sekitar 56 mahasiwa, yaaah hanya didepan teman-teman sekelas tetapi ini menjadi pukulan berat untukku, lebih parah dari bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hirosima. Dengan masalah-masalah yang saat ini menimpaku aku harus mengasah mentalku yang saat ini sudah terlanjur aku manjakan dengan menghindarinya, aku harus membangunkan mentalku yang sudah terlanjur aku nina bobokan, menyembunyikan kelemahanku dengan diam, tahukah anda?? Jika ada keharusan (benar-benar tidak dapat dihindari) berbicara di depan aku selalu berusaha untuk menghindari huruf “R” misalnya ketika aku ingin menyebutkan kata “agar” aku lebih memilih kata “supaya” karena itu lebih aman, ketika diharuskan berbicara di depan umum otakku bekerja lebih keras memilih-milih kata yang tidak ada huruf “R” nya tetapi mempunyai makna yang sama dengan kata yang akan aku ucapkan.

Aku sadar banyak senyuman yang aneh ketika aku berbicara di depan, yang aku pahami senyuman itu bernada hinaan, simpati yang tidak pada tempatnya dan berbagai negatif thingking lainnya aku tafsirkan dari senyuman-senyuman mereka yang sangat tidak aku sukai, terkadang ada gurauan dari mereka yang tanpa mereka sadari itu sangat menyakitkanku, mereka tidak tahu aku bisa, sebenarnya aku sangat bisa melakukan apapun yang bisa mereka lakukan di depan, berbicara menyampaikan materi-materi dan berdiskusi, aku yakin mempunyai kemampuan materi untuk itu (somboong sedikit untuk menyenangkan diri heu) tetapi mental ku, kelemahanku, kekuranganku membatasi semua itu, banyak kesempatan emas aku abaikan, banyak momentum terbaik aku hindari itu hanya karena kekuranganku yang terlalu aku lebaykan. Dan saat ini aku mau tidak mau harus berpidato di depan kelas kalau mau lulus mata kuliah tersebut.
Hari pertama ujian communication skill itu sudah ada beberapa teman-temanku yang tampil, tampilnya rebutan siapa yang sudah siap maka ia boleh tampil ceramah atau pidato di depan kelas, wahhh aku berpikir kapan aku bisa siap, setiap ada teman yang tampil aku memperhatikan kata demi kata yang mereka ucapkan membuatku tambah iri kenapa aku tidak bisa dengan fasih mengucapkan huruf “R”, aku menyalahkan kondisiku, menyalahkan kekurangnku, aku sangat sedih mungkin karena masalah-masalah yang sedang membebaniku aku menjadi sangat sensitif, aku putuskan untuk tidak mengikuti ujian itu, waktu ujian tinggal tersisa dua pertemuan lagi, aku tak peduli dengan nilai untuk mata kuliah itu, ujian communcation skill itu membuat kuliahku kacau selama lebih dari dua minggu, aku jadi tidak semangat di kelas, ketika perkuliahan aku selalu memikirkan tentang ujian itu. Dan yang menyebalkan teman-temanku yang sudah tampil selalu bertanya: “kamu kapan mau tampil? perkuliahan udah mau berakhir ni”. Dengan kesal aku menjawab: “Ahh udah aku g mau ujian itu, titik pokoknya g mau, g mau”.

Untuk menghilangkan penat aku mencoba mencari teman yang setia, menjauhi orang-orang yang memandang rendah padaku, menjauhi orang-orang yang tidak menganggapku ada, menjauhi keramaian karena aku tetap merasa sendirian dalam keramain itu, dan tahukah anda aku menemukan teman setiaku, ternyata teman yang paling setia adalah buku. Aku memilah milih buku, dari sekian banyak buku di rak buku.  Pandanganku terhenti ketika aku membaca judul buku “ZERO to HERO” heemmm aku ambil buku tersebut dan aku baca sinopsis di belakangnya, sangat menggugah karena sangat sesuai dengan keadaanku saat itu, di paragraf ke-dua dari sinopsis itu tertulis kata-kata yang sederhana tapi sangat memancing aku untuk membaca buku tersebut, seperti ini rangkaian kata-kata itu:

“Kita akui, kita orang biasa. Banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan de el el. Itu bukan masalah. Bagaimana di tengah keterbatasan itu kita dahsyatkan diri agar lahir prestasi tinggi. Itulah kepahlawanan sejati. From zero to hero!”

Aku membaca buku itu dengan sangat antusias, lembar demi lembar aku lahap seperti seseorang yang sedang kelaparan menemukan makanan, kata demi kata aku cerna dengan seksama, kata-katanya ringan, sebenarnya banyak buku motivasi yang sebelumnya aku baca untuk membangkitkan semangatku, mungkin karena waktu dan kondisi yang sangat pas dengan keadaanku buku tersebut benar-benar menjadi Hero untuk aku yang sedang zero dan memancing aku untuk menjadi Hero. Aku melanjutkan membaca buku itu, menikmati kisah-kisah para Hero muslim dan panafisran ayat-ayat cinta dari Allah dan hadist dari Nabi Muhammad saw. dalam hitungan beberapa jam aku bisa menyelesaikan buku tersebut. Aku seperti seorang yang sangat dahaga dan menemukan setetes air untuk menghilangkan dahaga itu, dan dari setetes air itu ternyata tersimpan semangat yang mampu menciptakan air yang berlimpah sehingga aku juga bisa membagikannya kepada para musafir yang juga sedang dahaga. Diagram-diagram  Zero to hero yang ditulis oleh Solikhin Abu Izzudin membuatku sadar bahwa sebenarnya kekuranganku adalah suatu nikmat dari Allah dan ini adalah bentuk kasih Allah yang harus aku syukuri dengan memanfaatkannya sebaik-baik mungkin tanpa membuang waktu percuma memikirkan hal-hal yang kecil. Hal ini terinspirasi dari perkatan Al Mutanabi yang beberapa kali diulang oleh penulis, kutipan tersebut terdapat pada halaman 105 dan juga 162:

“manusia dinilai berdasarkan perbuatan mereka. Kebesaran jiwa mereka yang menentukan karya besar mereka memang besar. Di mata orang-orang kerdil, masalah-masalah sepele menjadi besar. Bagi yang berjiwa besar, masalah-masalah besar terlihat kecil”

Aku baru menyadari betapa kerdilnya aku, betapa kecilnya aku hanya gara-gara satu huruf “R” mentalku melempem padahal banyak yang tunarungu, aku tidak fasih hanya satu huruf dari 26 huruf. Astaghfirullah, ampuni hambamu yang tak bersyukur ini, aku menangisi nasibku, menangis sejadi-jadinya, sekarang tangisku bukan karena aku tidak fasih mengucapakan huruf “R” tetapi aku menangisi betapa selama ini aku tidak menyadari bahwa aku masih sangat beruntung dengan semua yang Allah berikan kepadaku dan akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti ujian communication skill itu, dan hasilnya aku mendapatkan nilai “A” untuk mata kuliah Basic Life Skill. Sekarang aku tidak takut lagi untuk tampil berbicara di depan umum dan aku saat ini memang telah memilih memfokuskan diri untuk lebih banyak menulis dari pada bicara, karena fokus diri itu penting.

Ada tiga tipe manusia yang solikhin gambarkan dalam proses pendakian; Tipe Quitters, Campers dan Climbers, aku akan menjadi tipe clembers karena inilah pendaki abadi dan pahlawan yang hakiki yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang, mengubah hambatan menjadi kesuksesan, mengubah kesulitan menjadi kemungkinan-kemungkinan, mengambil resiko dengan sepenuh konsekuensi dan keberanian. Bagaimana dengan anda?

Kita orang biasa, tentu banyak keterbatasan, kekurangan, kelemahan, kegagalan, kemalasan, dan sebagainya. Ubah paradigma, cara pandang kita. Jangan menyalahkan keadaan. Tak usah mempersalahkan kelemahan, tapi ubahlah keterbatasan menjadi anak-anak prestasi tinggi, amal-amal terpuji dalam jiwa pahlawan sejati.(Zero to Hero: halaman 34-35)

kawaaand
Jika saat ini anda sedang merasa sendiri dalam keramaian
Jika saat ini anda merasa lemah dengan kekurangan
Jika saat ini anda merasa takut dengan penghinaan
Jika saat ini anda masih mengabaikan momentum emas hanya gara-gara rasa takut dan kekurangan anda

Lupakan semua perasaan itu kawan,

sejenak bertemanlah dengan buku, karena buku adalah teman yang setia. Bacalah “ZERO to HERO” dan lanjutkan dengan membaca “THE WAY to WIN” nikmati kesejukan tetesan penyejuk dahaga kata-kata yang di ambil dari sari patih Al-Quran dan Hadist serta kisah-kisah penuh hikmah dan anda akan bisa menjadi Hero dan the Winner. Setidaknya Hero dan the winner untuk anda sendiri seperti saya saat ini. Saya telah menang melawan rasa ketakutan, kekurangan, kesendirian, penghinaan, tak peduli dengan sikap dan pandangan orang. Berbuat baik sebanyak mungkin dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin karena momentum emas itu barang langka seperti yang terdapat pada halaman 79 dalam buku Zero to Hero. “Orang sukses  kuncinya proaktif bukan reaktif. Waktu adalah momentum kesuksesan. Kesempatan yang ada begitu menggoda, mau diapakan terserah anda. Karena itu berbekallah. Allah berfirman”Dan berbekallah, karena sebaik-baik bekal adalah taqwa”(al-Baqarah:197)”

Saat ini kata-kata yang tertanam kuat yakni kata-kata yang terdapat di awal-awal buku Zero to Hero, kata-kata dari KH. Rahmat Abdullah:
Jadilah kalian orang-orang yang:
Atsbatuhum mauqiifan...
Arhabuhum shadran...
A’maquhum fikran...
Ausa’uhum nazharan...
Ansyatuhum ‘amalan...
Aslabuhum tanzhiman...
Aktsaruhum naf’an...

Inilah kisahku kawand, kisah ini belum berakhir karena hidup tetap harus berjalan dan tetap harus berkarya. Terimakasih kepada Allah SWT yang menuntun pandanganku untuk melihat buku “Zero to Hero” sehingga aku bisa menghilangkan dahagaku, terimakasih kepada Pro-U Media dengan buku-bukunya yang menggugah dan lomba ini yang menggugahku untuk lebih rajin menulis, menuliskan kisah-kisahku. Dan special thanks to Solikhin Abu Izzudin, I’LL come to be like you creator, inspirator and Islamis. Amiiin ya Rabbal ‘Alamiiin

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di