“AKHWAT”
Hemm sebuah kata yang saat ini sedang naik daun, sebuah kata yang sedang populer, sebuah kata yang akhirnya jadi sebuah istilah, sebuah kata eksklusif untuk suatu golongan yang akhirnya saat ini menjadi istilah yang menjadi bahan obrolan....
“AKHWAT”??? berbedakah makna kata tersebut dengan perempuan, wanita, atau cewek???
Note ini terinspirasi dari obrolan-obrolan sehari-hari, kata akhwat yang di anggap sakral oleh suatu golongan kini menjadi sebuah bahan ejekan atau becandaan dalam obrolan sehari-hari. Entah siapa yang salah yang mengejek, yang di ejek, atau kata istilah itu memang bukanlah suatu yang harus di sakralkan, karena tak ada salahnya bukan??? jika suatu waktu saya memanggil rekan saya yang notebenenya bukan jilbaber dengan sebutan akhwat, entahlah...???
Pikiran saya saat ini berkecamuk, saya termasuk orang yang sering bercanda dengan istilah itu, sering saling mengejek dengan teman-teman menggunakan kata “akhwat” atau “ukhti fillah”, mungkin sikap saya dan teman-teman itu salah atau orang-orang yang mencoreng makna kata akhwat yang mereka anggap sakral itu yang salah, sehingga ada kata-kata yang saya dengar “akhwat kok gitu?”, “berjilbab lebar tapi ko pacaran?”, “akhwat ko suka nyindir depan umum”, akhwat ko ini itu dan lain-lainya entahlah, yang terbayang dalam benak saya seakan-akan sebutan akhwat adalah untuk wanita yang sempurna tanpa cela....... disini tak ada yang perlu dipersalahkan. Harus disadari sesuatu terjadi pasti karena ada sebabnya.
Seandainya istilah akhwat di identikan dengan seorang wanita yang berjilbab “rapi” (berjilbab lebar), seandainya kata akhwat di identikan dengan seorang wanita dengan segudang kegiatan dan aktivitas di kampus, seandainya istilah akhwat di identikan dengan seorang wanita yang menjaga hijab dan menyatakan dirinya mencintai seseorang karena Allah. Hemm seandainya tidak pernah dikenal istilah akhwat akan disebut apa wanita yang berjilbab rapi itu, akan disebut apa wanita yang dengan segudang kegiatan manfaat dan tetap menjaga hijab. Sebutan wanita shalehah itu jauh lebih baik. Saya sangat amat setuju, sebagai wanita kita harus menjaga hijab dengan yang bukan muhrim kita (pemahaman akan batasan hijab pasti berbeda-beda, entahlah anda dan saya pun mungkin berbeda?), sebagai wanita kita tidak boleh KuPer harus aktif dan hidup harus bermanfaat untuk semua. Tetapi kenapa harus ada istilah akhwat??? Kenapa dalam pikiran saya kata itu terlalu di anggap sakral oleh suatu golongan yang mulai agak di politisi oleh suatu sistem. Entahlah... masih banyak yang menjadi pertanyaan dalam benak saya saat ini. saya sepakat dengan Gus Dur bhawa hargai sitem tetapi jangan sampai diperbudak oleh sistem, huuuff entahlah
“akhwat”... saya mencoba mencari tau berasal dari mana kata ajaib itu yang saat ini menjadi populer, dari salah satu dosen saya dapatkan bahwa kata akhwat berasal dari turunan kata Ukhtun artinya saudara perempuan.
Huuff kalau memang akhwat itu artinya saudara perempuan, kenapa harus jadi suatu istilah yang sakral n menjadi suatu sebutan untuk suatu golongan yang di anggap eksklusif sajah???, bukankah kita sebagai muslimah bersaudara semuanya. Sampai ada buku yang berjudul “Akhwat vs Cewek” yang penulisnya mengatakan istilah akhwat adalah sakral. Entahlah??
Saya dan beberapa teman saya bukanlah seorang wanita yang berjilbab lebar dengan segudang kegiatan di kampuz dan bisa menyatakan mencintai seseorang karena Allah, saya khususnya berjilbab yang mungkin masih bisa dikatakan standar yang penting menutupi dada dengan berdasarkan firman Allah:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya...” (QS:An-nur:31)
Entahlah saya juga tidak merasa paling benar dengan keadaan saat ini dan dengan sikap saya dan teman-teman yang terkadang memandang sebelah mata istilah akhwat ini (perlu digaris bawahi istilah akhwat yang dimaksud disini tidak sama dengan istilah muslimah yang shaleh). Tetapi saya juga tidak merasa salah ketika memakai pakaian yang tidak sama dengan mereka yang disebut akhwat. Tidak ada pihak yang ingin saya bela atau saya pojokan disini. Tingkat keshalehan seseorang tidak dapat dilihat dari jilbabnya, itu intinya mah......
Jadi ketika ada yang berjilbab lebar dan dia ternyata masih pacaran atau sikap-sikap apalah yang mencitrakan dia sebagai jilbaber yang g’ sesuai, menurut saya bukan jilbabnya yang salah tetapi sikapnya yang mungkin kurang dapat diterima, huff entahlah... Banyak wanita yang berjilbab tidak terlalu lebar yang saya kenal tapi beliau lebih bisa menjaga hijab dari pada yang memakai jilbab yang lebar, jika istilah akhwat adalah untuk mereka yang dapat menjaga hijab maka dengan sangat setuju rekan saya itu saya panggil akhwat, banyak wanita santun yang saya temui yang tidak menggunakan jilbab lebar, jika kesantunan dan keshalehannya menjadi tolak ukur sebutan akhwat maka dengan tanpa ragu saya akan memanggilnya akhwat, banyak wanita yang tidak berpakaian lebar tetapi dia menggunakan kesempatan untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif. Entahlahmereka tidak butuh panggilan akhwat atau digolongkan sebagaiakhwat.
Kenapa kadar keimanan selalu di identikan dengan ritual ibadah sajah, salah satu dosen pernah berbicara di kelas, bahwa dalam Al-Quran hubungan sosial itu yang lebih banyak dibandingkan ritual-ritual ibadah. hal ini mengindikasikan bahwa hubungan sosial lebih di tekan kan untuk mengukur kadar keshalehan seseorang. Dengan jujur saya sangat amad membenci orang yang mengaku paling sebagai golongan yang paling benar dan menyalahkan orang lain. Bukahkah Allah lah yang paling mengetahui siapa diantara kita yang paling benar.
“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya. masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS:al-Isra’:84)
Intinya jangan mengaku sebagai orang yang paling benar dan dengan gampang menyalahkan orang lain.
Mengutip ayat Al-Quran
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali.” (QS: Hūd:88)